Rabu, 06 Februari 2013

Payo's Waterfal


3 hari setelah kepulanganku, aku diajak adik dan para sepupu untuk ikut ekpedisi negeri payo. Melihat air terjun yang ada disana. Sebelumnya, aku memang sudah pernah kesana. Waktu itu aku masih SMA. Kelas XII kalau ngga salah. Diajak rombongan yang ada disekitar tempat tinngalku + 3 orang teman dekatku. Bedanya, di tahun itu aku berjalan melewati jalur air yang memang medannya lumayan sulit karna harus terus jalan di air, banyak batu, lintah dan berisiko hanyut. Beruntung, yang hanyut hanya dompet dan bekal makanan bukan orangnya. Kalau datahun 2013 ini kami melewati jalur darat. Menempuh beberapa bukit (naik-turun bukit).
Perbedaan lainnya, kalau lewat jalur air kita hanya bisa melihat satu air terjun. Yaitu, air terjun paling bawah. Karna memang air terjunya itu tinggi sekali. Nah, kalau yang ditempuh adalah jalur darat yang mesti melewati beberapa Bukit, kita akan bisa menjajaki hampir semua tingkatan air terjun. Tapi tidak bisa ke dasar air terjun terakhir yang memang sangat tinggi. Ngga mungkin rasanya, turun ke dasar  air terjun ketujuh ini.
Kita berangkat jam 9 pagi. Di antar ibu dan bapak, kami akhirnya sampai ke daerah Payo. Sebelum berangkat, ibu telah merebuskan daun herbal untukku dan puja adikku. Kata ibu, biar kami kuat dan ngga ngos-ngosan.
Cantik sekali pemandangan dari daerah ini. Kita bisa lihat Kota Solok dari atas Bukit. Keseluruhan Danau Singkarak bisa terlihat jelas dari sini. Cuca cerah berawan.

Setelah pamitan, kami memulai petualangan.
Melewati perkebunan kunyit milik warga sekitar kemudian kami  masuk hutan.




Seperempat perjalanan hari mulai hujan. Medannya lumayan sulit karna basah dan licin. Banyak sekali jurang disini. Begitu juga dengan duri. Ada duri salak, duri jarek-jarek dan jenis duri lainnya.
Memang awalnya, aku mengunakan sepatu.Tetapi melihat anggota kelompok lain hanya mengunakan sandal seadanya akupun ikutan mengunakan sandal jepit (takut dibilang lebay). Padahal itu demi kebaikan. Harusnya aku tidak perlu malu jika menggunakan sepatu. Tapi sudah lah, itu sudah berlalu. Jadikan pengalaman saja untuk perjalanan berikutnya J
Becek, licin, penuh lumpur. Aku tidak bisa lagi menggunakan sandal jepit ini. Terpaksa aku bertelanjang kaki. Mau tidak mau, aku harus terima risiko. Hujan semakin lebat, beberapa orang meminta untuk istirahat. Akhirya, angku (pemandu) memberhentikan kami disebuah pohon besar. Sayang, ada yang jahil. Tidak sengaja dia mengusik keberadaan lebah disana. Kami terpaksa melarikan diri. Beberapa orang tersengat di telinga, tangan, kepala dan muka. Kasihan sekali.
Selama dua setengah jam kami hujan-hujanan. Semua basah kuyup dan kedinginan. Sebelum sampai ditujuan, kami harus menuruni tebing yang cukup terjal. Untuk turun kesana kami harus menggunakan tali dan berhati-hati dengan bebatuan yang akan jatuh menimpa kami. Rintangannya begitu berat. Kakiku mulai sakit akibat gesekan batu dan hempasannya. 
Berhasil melewati tebing itu kamipun disuguhkan keindahan air terjun di daerah ini (Sampai di air terjun ke-3).  Kami turun menuju air terjun ke dua dan memutuskan untuk makan dan menghangatkan badan disana. Lagi-lagi kami mesti melewati bebatuan. Meloncat-loncat seperti tupai, saling menjulurkan tangan memberi bantuan.


Membuat api, bikin kopi dan makan nasi. Itulah yang kami lakukan di air terjun ke-2. Membiarkan badan kering dengan sendirinya. Setelah berhasil melepas lelah, kami berjalan kembali menuju air terjun ke-3. Foto sebentar dan naik ke air terjun berikutnya. Begitu seterusnya hingga air tejun pertama. Memang dari air terjun ke air terjun  medannya beda, tapi kami menakhlukannya dengan hal sama. Mengunakan tali, manjat-memanjat, menjulurkan tangan untuk saling membantu.
Ternyata jalur darat ini jauh lebih sulit menurutku. Mungkin karna hari hujan yang menyebabkan jalan  licin. Bayangkan untuk pulang saja, aku sudah sangat lelah dan kesakitan. Beberapa kali aku terkena duri. Tidak hanya ditelapak kaki, pungung kakipun juga sampai terkena duri ini. Beberapa kali juga aku harus terjatuh. Sesekali aku terpaksa turun ala peseluncur.
Kami sampai kembali diperkebunan warga ketika magrib. Istirahat sebentar dan kembali makan. Membuat api, bikin kopi dan masak mie.

Kasihan ibu dan bapak. Beliau sudah sampai payo jam lima sore dan terpaksa harus menunggu beberapa jam. Setengah delapan kami sampai diperkampungan. Dan kembali pulang J
Pemandanagn dimalam hari juh lebih seru. Banyak lampu yang terlihat. Seperti bukit bintang. Solok begitu terang. Indah, sangat Indah.
Sayangnya, perjalanan kami ketika mulai memasuki hutan tidak bisa diabadikan. Kami focus dengan perjalanan, medan dan keselamatan kami.
Kabarnya, perjalanan kami masuk Koran. Salah satu dari kami membuat artikel dan mengirimkannya. Sayangnya aku belum lihat.
Seru.!
Oya, daerah ini juga ada Paralayangnya. Mbah bilang, beberapa minggu terakhir Payo sering mengadakan paralayang. Hampir setiap minggu sepertinya. Info lebih lanjut, datangi aja daerahnya. Hehehehehe

2 komentar:

  1. Bundo mau banget diajak ke Payo dan makan nasi bareng2 kayak gituwh.. tapiiii eMak2 mana kuat naik turun tebing.. #wara gendong bundo gitu ya..?

    BalasHapus